Melirik


Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....
Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....
Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....
Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....
Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....
Nging.... Nging....
    Nging.... Nging....




Siapa yang tak kenal putu?? Penganan khas "desa". Mendengar saja membuat papila-papila lidahku aktif. Semakin dekat, semakin tercium aromanya.


Sore itu, aku tak sengaja melewati penjual putu saat mengendarai sepeda motor di dekat persawahan. Langsung segera aku memanggilnya. Pikulan nya sudah lumayan usang. Warna catnya pudar dan mengelupas di sana-sini. Beliau bukan pedagang besar, aku yakin itu. Dagangannya hanya tinggal sedikit. Kuputuskan untuk membeli semua saja. Bapak tua itu baik, dia memberi diskon 2000 rupiah padaku. Ya,, meski tanpa gula. Tak apa, karna wajahku juga sudah semanis gula.:)


Cukup lama menunggu putu matang. Aku memulai pembicaraan. Mengatur kata-kata, berbasa-basi. Aku senang berbincang dengan mereka (pedagang keliling). Aku yakin mereka senang jika disapa. Dengan pertanyaan-pertanyaanku yang sederhana, mungkin mereka berkenan bercerita.


"Masake ngangge nopo, Pak?"
"Minyak tanah, Mba."
"Lha mboten ngangge gas mawon?"
"Mengko ya kepanasen Mba, maning digawa mlaku kaya kiye."


(Aku merasa jadi mahasiswa yang miskin pengalaman)


Memang digemborkan pemerintah, gas itu lebih irit karena lebih mudah mengkonversi gas hodrokarbon menjadi energi panas.


"Regane pinten selitere?"
"Sepuluh ewu Mba, kepriwe maning."
"Tumbase teng pundi?"
"Nang Jakidul (nama desa), siki wis angel digolet Mba."


Di kala pemerintah telah mencabut subsidi minyak tanah, pedagang putu berteriak dalam hati untuk bisa membelinya. "Mau bagaimana lagi?" pekik mereka.Itu yang aku tangkap dari perbincangan kami. Mungkin pedagang-pedagang lain yang membutuhkan minyak pun merasakan hal yang sama. Belum lagi biaya hidup yang semakin mencekik. Kebanyakan darri mereka juga tinggal mengontrak rumah dan jauh dari keluarga. Ada dua dapur yang harus terus "ngebul".


Aku merenung, "ini salah siapa?".
1. Salah pemerintah yang semena-mena mencabut subsidi minyak tanah bahkan untuk pedagang kecil,
2. Salah pedagang yang tidak kreatif,
3. Atau ini adalah salahku?


Aku berkata demikian karena aku adalah mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi harapan bangsa. Harusnya mahasiswa mampu mengatasi masalah-masalah "kecil" dari pedagang "kecil". Tapi mulai dari mana? Aku tak kuasa untuk memulainya sendiri....




Aku butuh bantuanmu kawan. Ayo bantu mereka!!!

0 komentar:

Posting Komentar